Baduy merupakan desa yang
terletak di Provinsi Banten. Tidak banyak orang yang melakukan perjalanan ke
desa- desa ini. Selain daripada destinasi wisata di propinsi lainnya misalnya wisata riau.
Alhamdulillah saya dan teman- teman di awal tahun 2009 berencana
melakukannya, karena jujur saya pribadi sudah lama sekali tidak melakukan
perjalanan “refresing” ke alam bebas. Alhamdulillah hari itu Minggu, 8/3/2009
pukul 08:30 saya dan teman lainnya akan melakukan persiapan perjalanan setelah
1 malam sebelumnya kami menginap di salah satu rumah warga di Desa Ciboleger
dan ditemani salah seorang guide dari masyarakat lokal bernama kang ubad.
Dari informasi sebelumnya
yang telah saya dapatkan, di Baduy Dalam sekarang sedang ada acara adat Kawalu,
yaitu seperti Nyepi selama 3 bulan dan sudah berlangsung selama 1 bulan. Selama
prosesi kawalu berlangsung biasanya tidak boleh ada orang luar yang masuk, namun
lain halnya persepsi dari kang ubad dengan nada santai “gampang, kita liat aja
nanti”.
Perlengkapan pun di
siapkan termasuk 3 buah kamera yang siap kami jinjing, semua saya bawa karena
rencananya saya dan teman lainnya akan menginap di Baduy Dalam.
Dari lokasi desa di kaki bukit yakni Desa Ciboleger kami bergegas ke Jaro atau yang biasa kita sebut
Pak Lurah. Kondisi tempat Jaro seperti rumah tinggal pada umumnya di Baduy
dengan arsitektur panggung namun lebih ramai di bandingkan dengan rumah di sisi
lainnya.
Pendaftaran dan misi menuju ke kampung Baduy Dalam pun saya utarakan
dengan menulis maksud dan tujuan di dalam buku yang telah mereka persiapkan. Memang
untuk beberap hal seperti buku, elektronik dan sebagainya masih dalam batas
toleran untuk mereka gunakan di desa Baduy Luar namun tidak dengan listrik dan
lampu.
Desa pertama yang saya
lalui adalah Desa Keduketug dengan desa selanjutnya adalah Sahulu, Balimbing
dan Desa Marengo pada pukul 10.20
Disalah satu bagian
punggung bukit sempat terlihat hamparan padi yang di jemur diatas batang batang
kayu dan ini merupakan tradisi yang sampai saat ini masih di pegang teguh oleh
masyarakat Baduy yakni mereka masih menyimpan hasil panen padi mereka selama 30
tahun.
Desa ke-4 yang saya lalui
adalah Desa Gazebo pada pukul 10:35, desa ini tepat berada di samping aliran
sungai yang berwarna hijau dan hamparan bebatuan yang sangat besar. Beberapa
saat kemudian perjalanan saya lanjutkan dengan menyeberangi jembatan bambu
penghubung dari 1 desa ke desa lainnya.
Tepat pukul 13:20 akhirnya
saya dan teman- teman sampai di jembatan terkahir penghubung antara desa Baduy
Luar dan Baduy Dalam. Ada beberapa aturan
yang sangat dilarang jika seseorang masuk kedalam desa Baduy Dalam
seperti misalnya handphone dan kamera, sesekali salah seorang tim kami merayu
kang ubad untuk bisa berbicara dengan orang suku Baduy Dalam yang bisa di ajak
berfoto dengan tim rombongan.
Perjalanan untuk menuku
perkampungan Baduy Dalam ternyata belum sampai disitu karena saya dan teman
lainnya harus melewati beberapa punggungan bukit dan lembah yang terjal yang
pada akhirnya pada pukul 14:00 kami tiba di sebuah rumah yang ternyata sedang
dihuni oleh 4 orang anak kecil yang di jaga oleh kakak tertua laki- laki. Dalam
tradisi Suku Baduy Dalam biasanya pada siang hari orang tua mereka berladang
sehingga untuk menjaga keluarga di bebankan kepada anak tertua.
Berikutnya adalah Desa
Cibeo pada pukul 14:50 yang saat itu beberapa ladang telah ditinggalkan
masyarakat Suku Baduy Dalam karena pernah terjadi kebakaran hebat yang melanda
ladang – ladang tersebut.
Akhirnya kami tiba di Desa
Cibeo Baduy Dalam salah satu desa yang banyak terdapat kepala keluarga mungkin
berkisar 20 kepala keluarga. Pemandangan pertama yang membuat saya terkesima
adalah arsitektur rumah suku ini tidak menggunakan paku namun tersusun sangat
rapih. berderet rapi mungkin sekitar 6 rumah berbanjar saling berhadapan dengan
satu rumah panggung agak sedikit besar yang berada di tengah- tengahnya dan
dikelilingi dengan rumput hijau nan halus di depan pelataran rumah panggung
tersebut.
Langkah pun kami arahkan
ke kerumunan laki- laki besar mungkin sekitar sepuluh orang dengan pakaian
serba hitam dan ikat kepala hitam dan mereka sedang memasah air dan menghisap
rokok. Tentu dengan rasa agak sungkan saya memeprkenalkan diri dengan
diselimuti rasa penasaran tentang apa yang sedang mereka lakukan berkumpul di
siang hari. Dan ternyata di dalam kerumunan laki- laki tersebut ada salah
seorang tetua adat yang setelah di jelaskan bahwa mereka sedang melakukan apa
yang biasa kita sebut siskamling atau ronda.
Ronda biasa dilakukan oleh
laki- laki kepala keluarga Suku Baduy Dalam ketika hari sedang siang dimana
istri- istri mereka sedang bekerja di ladang. Ronda dilakukan untuk menjaga
keadaan di kampung mereka agar tetap bebas dari pencurian.
Setelah lama berbincang
saya dan teman lainnya berencana untuk kembali ke Desa Ciboleger tempat dimana
titik awal saya berangkat dengan sebelumnya kami membeli beberapa cinderamata
dari beberapa rumah pengrajin di Suku Baduy Dalam ini. Perjalanan kami
lanjutkan untuk kembali karena tidak mungkin mengejar perjalanan lainnya yang
bisa melebihi dari tiga puluh desa apabila kami berencana untuk singgah disemua
desa tersebut.
Akhirnya saya dan teman
lainnya tiba di rumah tempat awal berangkat pada pukul 21:20. Perjalanan ini
saya lakukan setelah hampir 6 tahun tidak melakukan perjalanan di alam bebas. Semoga
perjalanan ini dapat membuat anda bersemangat untuk menikmati keindahan alam Indonesia
lainnya dan semoga anak- anak kami Fahira Ghaisani dan Fathan Adlie Alghifari
menjadi anak- anak yang tangguh yang dapat menjalani kehidupan dengan pantang
menyerah amin.
Affiliate ©
2014 189Words.com